PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH KOTA SUKABUMI

Selebritis dan Lenyapnya Nalar Publik

Sukabumi– Hari ini media sosial sedang dihebohkan dengan Selebritis mengaku tengah hamil sembilan bulan di luar pernikahan. Dalam hitungan jam, berita itu menempati deretan teratas pencarian di berbagai platform media sosial.

Netizen ribut, Media daring menayangkan ulang, Figur publik bereaksi Tapi tak satu pun dari semua ini benar-benar penting kecuali sebagai cermin kegagapan kita memilah mana yang pantas jadi perbincangan, dan mana yang mestinya sekadar
lewat di lini masa.

Sementara itu, Tom Lembong, ekonom yang pernah menjabat menteri berbicara gamblang soal tekanan kekuasaan terhadap kebebasan berpendapat. Tak banyak yang mendengar dan memperbincangkan, Mahkamah Konstitusi menolak usulan agar capres dan cawapres minimal berpendidikan sarjana. Isu ini tenggelam.

Baca juga : https://pdmkotasukabumi.or.id/pemuda-negarawan-branding-is-not-a-dirty-word/

Padahal, dua kabar itu jauh lebih penting dari isi perut seorang selebritis. Kita tengah menghadapi krisis nalar publik. Ruang digital kita bising, tapi tak menghasilkan gema yang berguna. Di Indonesia, tubuh perempuan selalu laku dijual bahkan saat tak dijual Ia bisa dijadikan konten, opini, bahkan alat moralitas kolektif.

Selebritis ini hanyalah satu nama dalam daftar panjang figur publik yang dikuliti netizen secara sukarela. Sementara konten edukatif, laporan lingkungan, atau krisis demokrasi hanya menjadi potongan kecil di antara iklan, video prank,
dan ulasan skincare. Ini bukan salah Selebritis. Bukan pula semata salah media. Ini soal budaya. Media menjual apa
yang dibeli.

Warganet menyebarkan apa yang memuaskan. Dan isu seperti kehamilan selebritis selalu lebih mudah dikunyah ketimbang soal perubahan iklim atau kualitas pemimpin. Kita lebih suka menghakimi daripada memahami. Krisis iklim memuncak, Cuaca ekstrem, gagal panen, dan banjir melanda banyak wilayah. Namun isu ini tak trending. Kita lebih terganggu oleh siapa yang menghamili Selebritis ketimbang siapa yang mencabut hutan lindung untuk proyek tambang. Padahal, di ruang lain, puluhan juta orang terancam kekurangan air bersih.

Warga pesisir bersiap kehilangan rumah, namun semua itu kalah oleh satu kalimat Selebritis di kamera. Mahkamah Konstitusi pun memutuskan bahwa pendidikan tak relevan sebagai syarat menjadi Presiden. Sebuah sinyal buruk bagi masa depan demokrasi yang seharusnya bertumpu pada kualitas, bukan popularitas.

Tapi, seperti biasa, perbincangan soal ini hanya terjadi di ruangruang sunyi akademik dan obrolan senyap aktivis. Apakah publik tak peduli? Bukan, tetapi Publik tersesat, Dibanjiri informasi yang tak terkurasi Ditarik ke dalam dunia digital yang menomorsatukan sensasi dan mengubur substansi. Yang viral, bukan yang penting. Yang penting, tak pernah viral.

Kita perlu mendesak ulang sistem prioritas sosial kita. Bahwa tak semua yang populer itu layak didiskusikan panjang. Bahwa kehamilan seorang selebritis, betapa pun dramatisnya, tak akan berdampak pada kualitas pendidikan nasional, kondisi iklim, atau integritas demokrasi. Kita perlu keberanian untuk bilang cukup.

Saat ruang publik lebih sibuk menghakimi perempuan yang sedang hamil ketimbang mempertanyakan pemimpin yang anti kritik, kita tahu ada yang keliru. Ini bukan tentang Selebritis. Ini tentang kita, tentang masyarakat yang tak lagi mampu
membedakan gosip dan gagasan, sensasi dan substansi. Jika ruang publik tak segera direbut kembali oleh nalar sehat, maka bangsa ini akan terus terpeleset pada hal remeh, saat dunia di luar sedang terbakar.

Diki Agustina

Website : pdmkotasukabumi.or.id
Email : suara@pdmkotasukabumi.or.id
Youtube : pdm.kotasukabumi
Facebook : pdm.kotasukabumi
Instagram : pdm_kotasukabumi

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *