Oleh : Taufiq Iqbal Tawakal (Kader IMM Komisariat Fakultas Pertanian)
UU Sumber Daya Lahan dan Ancaman Baru bagi Petani Jawa Barat Pengesahan Undang-Undang Sumber Daya Lahan (UU SDL) digadang-gadang sebagai langkah monumental dalam menyelaraskan pengelolaan lahan di Indonesia. Diharapkan, regulasi ini menjadi jawaban atas ketimpangan penguasaan tanah, alih fungsi lahan yang semrawut, serta konflik agraria yang berkepanjangan. Namun, studi kasus dari Jawa Barat justru memperlihatkan sisi lain dari UU ini yakni potensi disintegrasi sosial dan ancaman serius terhadap keberlanjutan pertanian rakyat.
Jawa Barat, merupakan provinsi dengan populasi tertinggi di Indonesia (lebih dari 48 juta jiwa per 2023, BPS), berada dalam tekanan luar biasa antara kebutuhan ruang hidup, pertumbuhan industri, dan ketahanan pangan. Luas lahan pertanian semakin menyusut, data Dinas Pertanian Jabar menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, sekitar 97.000 hektare sawah produktif telah beralih fungsi, terutama menjadi kawasan industri dan pemukiman.
Salah satu contoh mencolok terjadi di Kabupaten Karawang, yang dikenal sebagai lumbung padi nasional dari Jawa Barat. Meski merupakan kawasan strategis pertanian nasional (KSPN), Karawang menjadi arena konflik agraria yang pelik dan berkepanjangan.
Pemerintah daerah dengan dukungan investor, memanfaatkan celah hukum dalam UU SDL untuk mengembangkan kawasan industri baru melalui alih fungsi lahan. Para petani yang menggantungkan hidupnya dari sawah secara bertahap tersingkir karena status tanah mereka dianggap “tidak sah” secara administratif, meski mereka sudah mengelola lahan puluhan tahun.
Studi lapangan yang dilakukan oleh Sajogyo Institute (2023) menunjukkan bahwa penghapusan tanah garapan petani dalam peta legalitas satu-pintu (one map policy) membuat posisi petani semakin lemah dalam mempertahankan haknya. Mereka disebut sebagai “penggarap liar” atas tanah negara, padahal UU SDL belum sepenuhnya mengintegrasikan
prinsip penguasaan berdasarkan keadilan agraria, sebagaimana yang diamanatkan UndangUndang Pokok Agraria (UUPA 1960).
Baca Juga : https://pdmkotasukabumi.or.id/pemuda-negarawan-the-purse/
Situasi serupa juga terjadi di Kabupaten Bandung Barat dan Bogor, di mana proyek infrastruktur jalan tol dan properti kerap menggeser lahan-lahan produktif yang belum memiliki sertifikat resmi. Dalam praktiknya, UU SDL justru memfasilitasi percepatan pengadaan tanah, dengan menomorsatukan “kepentingan strategis” negara di atas hak-hak warga lokal atau masyarakat adat.
Ironisnya, Jawa Barat adalah salah satu wilayah yang paling rentan terhadap ancaman krisis pangan, seiring dengan menurunnya ketersediaan lahan pertanian dan meningkatnya urbanisasi. Jika arah kebijakan tidak segera dikoreksi, maka Jawa Barat bisa saja kehilangan identitasnya sebagai sentra produksi pangan nasional, dan bergeser menjadi wilayah
ketergantungan pangan impor.
UU SDL sejatinya bisa menjadi instrumen reformasi agraria yang progresif asal tidak terjebak dalam logika pembangunan yang eksploitatif. Pengakuan terhadap lahan adat, jaminan terhadap tanah garapan rakyat, serta transparansi dalam perencanaan ruang harus menjadi inti dari implementasi regulasi ini.
Kini, pemerintah pusat dan daerah dituntut tidak hanya menerapkan UU secara formalistik, tetapi juga secara substantif, berpihak pada petani kecil dan keberlanjutan ekologis. Jika tidak, maka UU ini hanya akan menjadi babak baru dalam sejarah panjang penggusuran rakyat atas nama pembangunan.
____________
Website : pdmkotasukabumi.or.id
Email : suara@pdmkotasukabumi.or.id
Youtube : pdm.kotasukabumi
Facebook : pdm.kotasukabumi
Instagram : pdm_kotasukabumi