PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH KOTA SUKABUMI

Pemuda Negarawan: Jalan Panjang yang Tak Bisa Disingkat

Oleh: Ismail Hendra, S.Si

Pemuda Muhammadiyah punya sejarah panjang dalam melahirkan kader-kader bangsa yang bukan hanya cerdas, tapi juga punya kompas moral. Sejak berdiri tahun 1932, organisasi ini sudah membuktikan bahwa anak-anak muda bisa berperan besar dalam membentuk arah bangsa—bukan dengan marah-marah, tapi dengan karya; bukan dengan kemewahan, tapi dengan keteguhan prinsip.

Dalam tubuh Pemuda Muhammadiyah, istilah “negarawan” bukan sekadar gelar mewah. Ia lahir dari proses panjang: membaca, berdiskusi, bekerja di akar rumput, dan terus-menerus membentuk diri agar kuat menghadapi godaan kekuasaan. Pemuda di sini tidak dibentuk untuk sekadar tampil. Mereka ditempa untuk siap menyampaikan kebenaran, walaupun sendirian. Siap bekerja di balik layar, walaupun tak disorot.

Lihat saja bagaimana tokoh-tokoh seperti Buya Syafii Maarif tumbuh. Sosok yang tenang, jujur, dan penuh integritas itu pernah aktif di Pemuda Muhammadiyah. Ia tak pernah sibuk mengejar posisi, tapi justru dihormati karena keteguhannya menjaga prinsip. Kata-katanya menenangkan, tapi tajam. Ia pernah bilang, “Jika negeri ini ingin selamat, maka politik harus dipandu oleh akhlak.” Dan ucapan itu bukan hanya retorika—Buya menjalaninya sampai akhir hayat.

Ada juga Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., yang dikenal luas sebagai akademisi sekaligus tokoh ormas yang jernih pikirannya. Ia lahir dari tradisi kaderisasi Muhammadiyah yang kuat. Dalam banyak forum, beliau mengingatkan bahwa pemuda itu harus punya wawasan luas, tidak reaktif, dan siap belajar sepanjang hidup. Di tengah dunia yang penuh kebisingan, pesan seperti ini terasa begitu menyejukkan.

Begitu juga dengan Dr. Dahnil Anzar Simanjuntak, M.E., yang pernah memimpin Pemuda Muhammadiyah dan mendorong anggotanya untuk masuk ke ruang-ruang pengambilan kebijakan. Bukan untuk jadi penonton, tapi untuk menjadi penjaga nilai. Kata Dahnil, politik itu bukan sekadar cari aman, tapi tentang keberanian menjaga yang benar, meski kadang harus berbeda sendiri.

Tentu saja, tak semua orang akan jadi tokoh nasional. Tapi menjadi pemuda negarawan bukan soal jadi terkenal. Ia soal cara kita memosisikan diri dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita ikut larut dalam arus pragmatisme, atau kita tetap menjaga akal sehat dan keberpihakan pada yang lemah?

Banyak pemuda Muhammadiyah hari ini yang mengajar di desa, mendampingi UMKM, mengadvokasi buruh tani, menulis buku, dan merawat anak-anak muda lewat kegiatan literasi atau olahraga. Mereka tidak tampil di media. Tapi kerja-kerja itu membentuk watak. Dan watak itulah yang nanti jadi pondasi kenegarawanan.

Pemuda negarawan itu tidak selalu pakai jas. Ia bisa datang dengan sarung dan peci, bisa datang dengan kaos polos dan sepatu lusuh. Tapi dia datang membawa keberanian, dan meninggalkan jejak yang menyembuhkan.

Maka kalau ada yang bertanya, bagaimana cara mencetak pemuda negarawan? Jawabannya bukan bikin pelatihan mewah atau seminar yang penuh jargon. Mulailah dari yang paling dasar: membaca, berdiskusi, menyapa rakyat, hidup sederhana, dan berani bersikap. Itulah jalan panjang yang tak bisa disingkat.

Pemuda Muhammadiyah sudah menempuh jalan itu sejak lama. Tinggal kita teruskan, dengan cara kita hari ini—dengan cara yang relevan, tapi tetap jujur. Karena kalau bukan kita yang menjaga warisan itu, siapa lagi?


Referensi:

Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif, M.A., Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Mizan, 2009
Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., Pidato Tanwir Pemuda Muhammadiyah 2022
Dr. Dahnil Anzar Simanjuntak, M.E., Catatan Kebangsaan, Republika, 2017
Majalah Suara Muhammadiyah, edisi khusus 90 Tahun Pemuda Muhammadiyah

Dr. H. Haedar Nashir, M.Si., Islam Berkemajuan untuk Indonesia Berkemajuan, PP Muhammadiyah, 2019

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *