Apa yang terjadi ketika dakwah berhenti menjadi gerakan dan hanya menjadi rutinitas? Ketika khutbah kehilangan keberpihakan, dan mimbar menjauh dari denyut kehidupan umat yang tertindas?
Pertanyaan-pertanyaan ini menggema dalam benak saya setiap kali menatap wajah-wajah saudara kita di komunitas. Mereka yang terjerat kemiskinan struktural, mereka yang terpinggirkan oleh sistem, mereka yang disingkirkan dari ruang partisipasi sosial. Di tengah mereka, dakwah seharusnya bukan hanya hadir sebagai suara—tetapi sebagai tangan yang mengulurkan, sebagai langkah yang berjalan bersama, sebagai cahaya yang menyala dari bawah.
Namun sayangnya, dakwah sering terkurung dalam ruang yang steril. Ia menjadi ritual, bukan respons. Ia menjadi pengulangan, bukan keberanian. Padahal, jika kita membuka kembali sejarah dakwah Nabi Muhammad Saw., kita akan menemukan bahwa beliau tidak memulai gerakan dari istana, melainkan dari lorong-lorong kota Mekah yang pengap oleh ketidakadilan.
Nabi memulai dari komunitas kecil. Ia bicara bukan kepada para elit, tapi kepada budak, yatim, perempuan, dan fakir miskin. Dakwahnya tentang tauhid,tentang pikiran membebaskan,tentang iman,tentang kemanusiaan. Ia menolak riba, membela perempuan, memerdekakan budak—dan itu semua adalah bagian dari dakwah yang beliau Lakukan sepanjang hayat.Maka saya percaya, dakwah adalah gerakan sosial. Ia bukan semata urusan surga dan neraka, tetapi tentang menegakkan keadilan di bumi. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Ma’un, agama yang otentik adalah yang membela anak yatim dan mengajak memberi makan orang miskin. Agama yang berpihak. Agama yang membumi.Dalam konteks ini, kita hari ini memikul peran profetik.kita harus menjadi agen perubahan sosial, juga penerus jejak kenabian.kesalehan dan pelayanan masyarakat adalah bentuk dakwah, meski tanpa sorban dan mimbar. Saat membela petani yang digusur, saat mendampingi korban kekerasan, saat membangun koperasi di kampung—di situlah dakwah hidup dan bekerja.
Kita perlu menyegarkan ulang semangat dan transformasi lembaga dakwah.Sebagai lembaga ceramah, sebagai laboratorium gerakan. Tempat di mana keimanan bertemu perlawanan, di mana spiritualitas bersanding dengan solidaritas. Kita perlu membawa kembali dakwah ke akar rumput—ke tempat di mana umat mengerang, dan berharap, di ladang, di jalanan, di ruang-ruang kecil yang sering luput dari empati.
Solahudin Al Ayubi (Ketua LDK PDM Kota Sukabumi)