PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH KOTA SUKABUMI

Melampaui Polarisasi: Dakwah Kritis dan Kesadaran Kelas dalam Menyingkap Ilusi Politik

Dunia politik hari ini ibarat panggung teater megah. Di atasnya, para aktor tampak berseteru, bersuara lantang, bahkan bersumpah demi rakyat. Tapi seperti kata George Carlin, “It’s a big club, and you ain’t in it.” Rakyat hanya penonton. Bahkan, sering kali menjadi korban dari drama yang tak pernah benar-benar diperankan untuk kepentingan mereka.

Dalam konteks Indonesia, suasana tak jauh berbeda. Polarisasi politik terus dipelihara. Rakyat dipaksa memilih kubu seolah-olah satu di antaranya adalah representasi kebenaran absolut. Padahal di balik layar, elit-elit itu bersatu dalam hal-hal yang tak pernah dibicarakan ke publik: kekuasaan, proyek besar, dan pembagian sumber daya. Inilah yang disebut Carlin sebagai permainan abadi: pecah belah dan kuasai.

George Carlin tidak sendirian. Kritik terhadap demokrasi liberal sebagai sistem yang memanipulasi rakyat juga disuarakan oleh banyak pemikir lain. Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent menjelaskan bagaimana media massa membentuk opini publik demi melayani kepentingan elit. Michel Foucault berbicara soal “regime of truth”—konstruksi kebenaran yang ditentukan oleh siapa yang memiliki kuasa, bukan siapa yang benar. Sementara George Orwell dalam 1984 menyindir tajam: “War is peace. Freedom is slavery. Ignorance is strength.”

Islam sendiri telah mengingatkan bahwa permainan politik yang memperalat rakyat adalah bentuk nyata dari kerusakan moral. Firman Allah:

> “Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah; maka bagi mereka azab yang menghinakan.”
(QS. Al-Mujadilah: 16)

> “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi!’ Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.’”
(QS. Al-Baqarah: 11)

Islam tidak netral terhadap ketimpangan. Sejak awal, Al-Qur’an berpihak kepada mustadh’afin—mereka yang tertindas oleh sistem sosial-politik yang zalim. Ayat-ayat ini bukan hanya retorika spiritual, tetapi kompas sosial yang menuntun arah perjuangan dakwah:

> “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin serta menjadikan mereka pewaris (bumi).”
(QS. Al-Qashash: 5)

Kesadaran kelas dalam Islam bukan berarti menghasut kebencian terhadap golongan kaya atau penguasa, tetapi menyadarkan umat agar tidak buta terhadap realitas siapa yang menguasai sumber daya, siapa yang mengendalikan narasi, dan siapa yang dieksploitasi.

Baca juga https://pdmkotasukabumi.or.id/pemuda-negarawan-jalan-panjang-dari-persyarikatan-menuju-medan-sejarah/

Sayyid Quthb dalam Fi Dzilalil Qur’an mengingatkan bahwa keimanan sejati harus melahirkan sikap sosial yang adil. Ketika Islam hanya digunakan untuk pembenaran status quo, maka ia telah dikhianati dari akarnya yang membebaskan. Demikian pula Ali Shariati, yang memperkenalkan konsep tauhid sosial, bahwa mengesakan Tuhan berarti menolak penghambaan kepada manusia atau sistem tirani mana pun.

Rasulullah ﷺ bukan hanya pembimbing akhlak, tetapi juga pemimpin umat yang membongkar tatanan feodal Quraisy, memuliakan budak, membela kaum lemah, dan membangun struktur keadilan sosial. Dakwah beliau bukan sekadar mengajak ke masjid, tapi menggerakkan rakyat melawan ketimpangan dan pemujaan terhadap kekuasaan dunia.

> “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.”
(QS. An-Nisa’: 58)

> “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”
(QS. Al-Hujurat: 10)

Hari ini, umat Islam dihadapkan pada jebakan fanatisme politik yang semu. Keluarga bisa pecah karena beda pilihan, sahabat bisa renggang karena beda narasi. Padahal mereka semua sedang menghadapi persoalan hidup yang sama: harga kebutuhan pokok yang melonjak, pendidikan yang mahal, tanah-tanah rakyat yang digusur.

Maka tugas dakwah komunitas adalah mengajak

menyadarkan, bukan memprovokasi. Menyatukan, bukan membelah. Dakwah adalah jalan pencerahan, bukan alat kekuasaan.

Kesadaran kelas menjadi penting agar umat tidak hanya menjadi korban dalam permainan elit. Jika rakyat menyadari posisi sosialnya, menyadari siapa yang sebenarnya mengeruk keuntungan, dan menyadari kekuatan persatuannya, maka perpecahan akan gugur dengan sendirinya.

LDK harus mengambil peran sebagai pelita umat di tengah gelapnya manipulasi sosial. Bukan sekadar mengisi ruang kosong, tapi membentuk ruang kesadaran. Karena tugas dakwah hari ini bukan hanya membenahi akhlak personal, tapi membongkar struktur yang melahirkan akhlak yang bengkok.

Maka inilah saatnya dakwah turun ke bawah, menyatu dengan rakyat, mengangkat suara kebenaran dan keadilan. Carlin telah membuka mata kita dengan satir, tapi Islam menuntun kita pada jalan yang lebih terang: jalan tauhid, keadilan, dan kesadaran. Saatnya umat bangun. Saatnya rakyat bersatu. Saatnya dakwah menjadi suara pembebasan.

 

Email: Suara@pdmkotasukabumi.or.id

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *