Menjadi pemuda bukan semata soal usia biologis, tetapi perihal keberanian untuk bermimpi dalam lorong-lorong panjang sejarah yang kerap sunyi. Dunia yang memburu segala hal secara instan—dari viralitas hingga jabatan—pemuda Muhammadiyah dihadapkan pada tugas yang lebih berat, yakni menjadi penjaga nilai dalam zaman yang kehilangan arah. Pemuda sebagai pewaris masa depan, juga arsitek kehidupan yang dengan sadar memilih untuk berpikir lintas generasi.
Inilah yang oleh Prof. Haedar Nashir disebut sebagai “kader berkarakter ideologis dan kultural, yang berpikir dalam dimensi keumatan dan kebangsaan secara bersamaan.” Pemuda Muhammadiyah tidak boleh merasa cukup hanya menjadi aktivis, apalagi sekadar menjadi buzzer nilai tanpa akarnya. Ia harus menjadi subyek sejarah yang peka terhadap krisis, memiliki keberanian moral untuk menyuarakan kebenaran, serta memiliki daya tahan dalam memperjuangkan jalan sunyi bernama perubahan.
Di dalam akar sejarah Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan telah menunjukkan bahwa kaderisasi bukanlah proses mencetak loyalis, melainkan membentuk pribadi-pribadi pembelajar yang tangguh secara spiritual, luas secara intelektual, dan konkret dalam kerja sosial. Ketika beliau mengajarkan Surat Al-Ma’un secara berulang, itu bukan semata metode, melainkan strategi sadar untuk menciptakan kader pemikir sekaligus pelaksana nilai-nilai Qur’ani.
Pemuda tidak cukup hanya paham isi kitab, ia harus hidup di tengah masyarakat sebagai solusi. Sejak awal,Muhammadiyah adalah rumah besar ideologi praksis: menghubungkan tauhid, kemanusiaan, dan kemajuan sosial. Dalam kerangka ini, pemuda Muhammadiyah harus mampu menginternalisasi Islam sebagai etika publik, bukan sekadar ritual privat. kaderisasi Muhammadiyah tidak mencetak anak muda yang sekadar pintar bicara, tetapi membentuk pribadi yang berpikir tentang masa depan umat dan bangsa dengan keikhlasan seorang guru dan keberanian seorang pejuang.
Pemuda negarawan dalam bingkai Muhammadiyah adalah figur yang lahir dari benturan antara idealisme dan kenyataan. Ia sadar bahwa jalan ini tidak populer, tidak instan, dan tidak selalu bertepuk tangan. Namun justru dari kesadaran itulah muncul kekuatan. Seperti yang ditulis oleh prof.Amien Rais dalam Tauhid Sosial, bahwa “Islam adalah agama pembebasan, dan pemuda adalah lokomotif sejarah yang mampu merombak tatanan yang membelenggu keadilan.” Dalam kerangka ini, pemuda Muhammadiyah bukan alat, melainkan pelaku pembebasan yang membawa Islam ke dalam ruang publik secara elegan dan bernas. Maka, menjadi pemuda negarawan bukan soal masuk partai atau menduduki jabatan, tetapi soal merawat nilai di tengah pusaran politik yang sering kali menyesatkan. Pemuda Muhammadiyah harus menjadi jembatan antara idealisme keagamaan dan realitas kebangsaan.
Dalam ruang-ruang pengajian, posko kebencanaan, hingga forum-forum kebijakan, pemuda Muhammadiyah telah menunjukkan bahwa menjadi kader adalah soal totalitas pengabdian. Ketika rumah sakit Muhammadiyah bertahan di tengah pandemi, ketika relawan muda Muhammadiyah hadir di lokasi bencana, ketika mahasiswa kader menyuarakan keadilan sosial dalam ruang akademik—semua itu bukan sekadar kerja filantropi. Itu adalah manifestasi dari Islam berkemajuan yang hidup dan bekerja. Seperti kata Prof. Azyumardi Azra, Muhammadiyah adalah salah satu ekspresi dari civil Islam, yakni Islam yang berakar pada amal dan tanggung jawab sosial, bukan sekadar simbol atau retorika. Maka, pemuda Muhammadiyah harus mengembangkan etos negarawan, yakni melampaui ego pribadi demi kemaslahatan umat.
Mereka yang kini mengelola media dakwah, mendampingi UMKM lokal, menyusun RPJMDes, atau mendesain kaderisasi berbasis digital—semua itu adalah bagian dari ikhtiar panjang membentuk peradaban. Pemuda negarawan tidak sibuk mencari pengakuan, tetapi sibuk menanam nilai. Dalam bahasa Bung Hatta, “negara yang besar bukan dibangun oleh mereka yang hanya ingin terkenal, tapi oleh mereka yang rela bekerja dalam senyap.” ini sangat dekat dengan semangat Muhammadiyah: berbuat dalam sunyi, tapi berdampak dalam sejarah. Maka tugas kita hari ini bukan hanya mencari kader yang aktif, tetapi menyiapkan pemuda yang mampu berpikir 50 tahun ke depan. Pemuda yang tidak tergoda oleh posisi, tapi digerakkan oleh visi. Pemuda yang tidak sibuk menjadi bayangan kekuasaan, tetapi menjadi cahaya yang mengingatkan arah.
Pemuda Muhammadiyah hari ini sedang berada di simpang jalan sejarah. Kita bisa memilih menjadi kerumunan atau menjadi kader. Kita bisa larut dalam euforia atau hadir sebagai penuntun. Jika kita memilih yang kedua, maka kita harus siap menempuh jalan panjang, memperkuat tradisi intelektual, mematangkan spiritualitas, dan merajut kerja sosial secara konsisten. Karena negarawan tidak dilahirkan dari sorotan kamera, tapi ditempa dalam keheningan musholla, diskusi-diskusi kecil, dan kerja-kerja kolektif yang sering kali tak terlihat. Dan bila sejarah memberi ruang, pemuda Muhammadiyah akan dikenang bukan karena suaranya yang nyaring, tetapi karena pijakannya yang dalam. Karena ia memilih menjadi akar, bukan daun yang mudah diterbangkan angin zaman.
Referensi:
Nashir, Haedar. Islam Berkemajuan: Dari Muhammadiyah untuk Bangsa. Muhammadiyah Press, 2015.
Rais, Amien. Tauhid Sosial: Formula Menggugat Tatanan Dunia. Mizan, 1999.
Hatta, Mohammad. Demokrasi Kita. Pustaka Rakyat, 1957.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah, Vol. 6-7. Lentera Hati.
Azra, Azyumardi. Islam Substantif: Agar Umat Tak Kehilangan Arah. Mizan, 2004.
Tim PP Muhammadiyah. Risalah Islam Berkemajuan. PP Muhammadiyah, 2022.
Pidato KH. Ahmad Dahlan dalam Risalah Wasiat dan Arsip Muhammadiyah (Majelis Tarjih & Tajdid).
1 Comment