PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH KOTA SUKABUMI

Pemuda Negarawan: The Purse

Kota Sukabumi- Apa itu the purse? Dalam ilmu politik, istilah ini merujuk pada kekuasaan untuk mengelola anggaran: siapa yang mengatur, menyusun, dan mendistribusikan dana publik, dialah yang sejatinya memegang kendali paling nyata dalam negara.

Dalam sistem parlementer, kekuasaan ini dikenal sebagai power of the purse—hak legislatif untuk menyetujui atau menolak rencana anggaran eksekutif. Konsep ini pertama kali ditegaskan oleh James Madison dalam Federalist Papers No. 58 (1788), sebagai “senjata paling efektif” bagi rakyat untuk mengendalikan pemerintah.

Baca Juga : https://pdmkotasukabumi.or.id/pemuda-negarawan-bumi-merana-manusia-terlena/

Di balik istilah teknis ini, tersembunyi pertarungan moral dan politik: siapa yang benar-benar memperjuangkan keadilan, dan siapa yang hanya menjadikannya narasi.

Dalam konteks Muslim, penguasaan terhadap the purse bukan secuil urusan teknokratis, melainkan amanah spiritual. Ali Shariati, pemikir revolusioner dari Iran, menuangkan pikirannya bahwa ketimpangan distribusi harta adalah bentuk syirik sosial—penghambaan terhadap kekuasaan duniawi yang menindas.

Dalam On the Sociology of Islam (1979), ia menyatakan bahwa membiarkan tirani ekonomi berlindung di balik simbol agama adalah pengkhianatan terhadap ajaran Islam itu sendiri.Setiap sistem yang mempertahankan struktur ketidakadilan ekonomi berarti menolak nilai tauhid yang membebaskan manusia.

Pemuda seringkali dijadikan simbol harapan. Namun harapan tanpa alat kekuasaan adalah ilusi. Banyak pemuda berbicara soal perubahan, tapi buta terhadap struktur fiskal dan cara kerja kekuasaan anggaran. Mereka akhirnya dijadikan alat kosmetik politik oleh elite lama.

Maka menjadi pemuda negarawan berarti berani menyentuh “the purse”: masuk ke jantung kekuasaan anggaran, memahami alurnya, serta menata ulang sistem distribusi agar lebih berpihak kepada rakyat kecil, bukan kepada segelintir penguasa dan kroninya.

Al-Qur’an secara tegas memperingatkan agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan elite:

“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Negara yang adil adalah negara yang mampu mengatur perputaran kekayaan agar inklusif. Maka menguasai anggaran bukan hanya persoalan teknis pemerintahan, tetapi amanah profetik yang diwariskan kepada generasi muda yang ingin membela umat, bukan menjualnya.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa anggaran—seringkali menjadi alat transaksi kekuasaan. Proyek pembangunan disusun bukan untuk menjawab kebutuhan rakyat, melainkan untuk mengamankan posisi elite.

Dalam situasi seperti ini, pemuda tidak boleh hanya menjadi komentator moral di media sosial. Mereka harus masuk menjadi perancang kebijakan: mendirikan koperasi digital, mengembangkan bank wakaf mikro, hingga mendorong pengawasan partisipatif atas APBD di daerahnya.

Teladan tentang ini telah ditunjukkan oleh para pendiri bangsa. Bung Hatta selain mengutuk kolonialisme ekonomi, beliau merumuskan gagasan koperasi sebagai pilar kemerdekaan sejati (Hatta, 1957).

Syafruddin Prawiranegara pun memimpin negara dalam masa darurat dengan semangat kemandirian fiskal dan integritas. Kini, semangat mereka harus dilanjutkan dengan strategi yang lebih modern, berbasis data, partisipatif, dan mendalam secara moral.

Shariati mengingatkan:

“Jika engkau tidak berpihak kepada yang tertindas, maka engkau telah berpihak pada penindas—meski tanpa sadar.”

Netralitas di tengah ketidakadilan struktural adalah bentuk kolusi diam-diam. Pemuda negarawan harus berani menjadi bagian dari sistem, bukan untuk menikmati fasilitasnya, melainkan untuk menanamkan kesadaran baru dan membongkar warisan ketimpangan yang membeku dalam birokrasi.

Menjadi pemuda negarawan berarti masuk ke ruang-ruang yang selama ini dianggap kotor, namun dengan semangat memurnikannya. Bukan sekadar moralitas di panggung digital, tapi keberanian menata ulang kebijakan publik dari akarnya.

The purse adalah alat perjuangan. Dan pemuda yang bijak tahu bahwa dalam dokumen APBN dan APBD yang tampak membosankan itulah, nasib rakyat seringkali diam-diam ditentukan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad.SAW:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Referensi :

Shariati, Ali. On the Sociology of Islam. Mizan Press, 1979.
Hatta, Mohammad. Demokrasi Kita. Pustaka Antara, 1957.
Al-Qur’an, QS. Al-Hasyr: 7
Hadis Nabi, HR. Bukhari dan Muslim
Madison, James. Federalist Papers No. 58, 1788.

Email : suara@pdmkotasukabumi.or.id

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *